Kisah si dukun cabul bagian satu
koranbaru69 - Kisah si dukun cabul bagian satu. Perkenalkan dahulu, namaku Darminto. Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang menyebut dirinya dengan istilah keren “paranormal” atau yang dilingkungan masyarakat kebanyakan dikenal dengan istilah dukun. Ya, aku adalah orang yang bergelar mbah dukun, meskipun sebenarnya aku sama sekali tidak percaya dengan segala hal begituan.
Aneh? nggak juga. Semenjak aku kena PHK dari perusahaan sepatu tiga tahun lalu, aku berusaha keras mencari pekerjaan pengganti. Beberapa waktu aku sempat ikut bisnis jual beli mobil bekas, tetapi bangkrut karena ditipu orang. Lalu bisnis tanam cabe, baru sekali panen harga cabe anjlok sehingga aku rugi tidak ketulungan banyaknya. Untung orang tuaku termasuk orang kaya di kampung, jadi semuanya masih bisa ditanggulangi. Cuma aku semakin pusing dan bingung saja. Untung aku belum berkeluarga, kalau tidak pasti tambah repot karena harus menghadapi omelan dan gerutuan istri.
Dalam keadaan sebal itulah aku bertemu dengan mbah Narto, kakek tua yang dengan gagahnya memproklamasikan diri sebagai paranormal paling top. Karena masih berhubungan keluarga, ia sering juga datang dan menginap di rumahku ketika dia lagi “buka praktek” di kotaku. O ya, aku tinggal di sebuah kota kecamatan kecil di Jawa tengah, dekat perbatasan jawa Timur (nggak perlulah aku sebut namanya). Meskipun kecil, kotaku termasuk ramai karena dilewati jalan negara yang lebar dan selalu dilewati truk dan bus antar propinsi, siang dan malam.
Eh, kembali ke mbah Narto, tampaknya si mbah punya perhatian khusus kepadaku (atau malah karena aku memang kelihatan sekali tidak menyukai dan sinis terhadap gaya perdukunannya?). Suatu hari ia berbicara serius denganku, mengajakku untuk menjadi “murid”nya. Walah, aku hampir ketawa mendengarnya. Murid? wong aku sama sekali tidak percaya segala hal takhayul macam itu, kok mau diangkat menjadi murid? tetapi segala keraguanku tiba-tiba hilang ketika mbah Narto menjelaskan: “punya ilmu ini bisa buat cari uang, Dar.” Katanya: “apa kamu tahu berapa penghasilan dukun-dukun itu? Mereka kaya-kaya lho. Meskipun ilmunya, dibandingkan dengan ilmu mbahmu ini, masih cetek banget.” Katanya dengan meyakinkan dan mata melotot.
Aku menggaruk kepalaku. Apa benar? Akhirnya aku tertarik juga. Meskipun tetap dengan ogah-ogahan dan tidak percaya, aku ikut juga menjadi muridnya. Naik turun gunung, masuk ke goa dan bertapa (ih, dinginnya minta ampun) dan dipaksa berpuasa mutih (cuman minum air dan nasi putih doang), empat puluh hari penuh. Terus terang, aku tidak merasa mendapatkan pengalaman aneh apapun selama mengikuti segala kegiatan itu. Tetapi setiap mbah Narto menanyakan “apa kamu sudah ketemu jin ini atau jin itu” atau “apa kamu melihat cahaya cemlorot (bahasa Indonesia: berkelebat)” waktu aku bersemadi, yah aku iyakan saja. Kok susah susah amat.
Akhirnya, setelah enam bulan berkelana, mbah Narto menyatakan aku sudah lulus ujian (wong sebenarnya aku tidak tahu apa-apa). Dan dia memperkenalkan aku sebagai assistennya untuk menyembuhkan pasien dari berbagai penyakit yang “aeng-aeng” alias aneh-aneh. Bahkan setelah beberapa lama aku dipercaya untuk buka praktek sendiri, di rumahku, dengan mempergunakan kamar samping rumah sebagai tempat praktek (meskipun aku harus membuat Yu Mini kakakku marah-marah karena meminta dia pindah kamar tidur).
Setelah beberapa bulan praktek, nasehat mbah Narto ternyata benar (ini satu-satunya nasehatnya yang benar, aku kira): bahwa jadi dukun itu banyak duit! aku baru sadar bahwa salah satu syarat untuk menjadi dukun yang sukses bukanlah terletak pada ilmunya (yang aku nggak percaya sama sekali), tetapi pada kemampuannya untuk meyakinkan pasien. Dukun adalah aktor yang harus bisa membuat pasien setengah mati percaya dan tergantung padanya, dengan segala cara dan tipu daya.
Pada mulanya beberapa orang datang minta tolong padaku, katanya menderita sakit aneh, pusing-pusing yang tidak tersembuhkan. Aku dengan lagak meyakinkan memberikan mantra, menyuruh mereka menghirup asap dupa, dan minum air kembang (di dalamnya sudah kucampur gerusan obat Paramex). Eh.. mereka sembuh. Dan sejak itulah pasien datang membanjir padaku. Ada yang minta disembuhkan sakitnya (kebanyakan aku suruh mereka ke dokter dulu, kalau nggak sembuh baru kembali. Sebagian besar memang tidak kembali), ada yang minta rejeki (itu mah gampang, tinggal didoain macem-macem) ada pula yang mengeluhkan soal jodoh, pertengkaran keluarga dan lain-lain (kalau itu tinggal dinasehatin saja).
Jadi inilah aku, mbah Dar, dukun ampuh dari lereng Merapi (lucu ya, aku dipanggil mbah wong umurku baru 25 tahun). Setiap hari paling sedikit sepuluh orang antre di rumahku, dari siang sampai malam. Begitu ramainya sampai akhirnya halaman depan rumahku dijadikan pangkalan ojek. Tidak kuperdulikan lagi omelan mbakyuku dan pandangan sinis orang tuaku (mereka selalu menasehati: hati-hati lho Dar, jangan mbohongi orang). Yang penting duit masuk terus, jauh lebih besar daripada gajiku saat masih bekerja di pabrik sepatu. Dengan ilmu yang asal hantam, tampang yang meyakinkan (aku sekarang pelihara jenggot panjang, pakai jubah putih kalau praktek) maka orang-orang sangat percaya kepadaku.
Semuanya berjalan lancar-lancar saja, sampai terjadi suatu kejadian yang meruntuhkan segala-galanya.
Malam itu, jam sudah menunjukkan pukul 20.00 malam. Pasien sudah sepi, dan aku sudah merasa sangat mengantuk. Sambil menguap aku berdiri dari “meja kerja”ku, menuju pintu dan bermaksud menutupnya. Tetapi kulihat si Warno sekretarisku menghampiri: “ada pasien satu lagi mbah” bisiknya: “cah wadon (anak perempuan) huayuu banget”. Dia nyengir dan menunjuk pelan ke ruang tunggu di depan. Di sana aku melihat seorang gadis dengan memakai T shirt putih dan rok warna coklat duduk di bangku. Aku tidak melihat wajahnya karena dia sedang memperhatikan TV yang memang kusediakan di situ.
“Masuk, nduk” kataku dengan suara berwibawa. Si gadis itu pelan-pelan berdiri, dan dengan takzim berjalan kearahku. Aku sekarang dapat melihat wajahnya dengan jelas. Aduh mak, dia memang betul-betul cantik. Rambutnya yang sebahu bewarna hitam lurus, matanya seperti mata kijang dan bibirnya seperti delima merekah (walah, puitis banget..). Tubuhnya bongsor dengan buah dada yang seperti akan memberontak keluar dari baju T-shirtnya. Aku kira umurnya paling banter baru 17 atau 18 tahun.
“Sugeng dalu (selamat malam) mbah..” katanya agak bergetar. Wuih, suaranya juga seksi banget. Kecil dan halus, seperti berbisik. Dengan lagak kebapakan aku menyilahkannya masuk, diiringi sorot mata nakal si Warno yang seperti akan menelan bulat-bulat si gadis itu. Kupelototi dia sehingga dia cepat-cepat lari ngibrit sambil terkikik-kikik. Aku segera menutup pintu. SahabatQQ
Kulihat si gadis duduk dengan sangat hormat di kursi pasien yang kusediakan. Tangannya ngapurancang di pangkuannya, wajahnya menunduk. Cantik sekali. Dengan pura-pura tidak acuh aku menyiapkan alat-alat perdukunanku, menyalakan lampu minyak (sebagai media pemanggil arwah, pura-puranya), menyiapkan baskom kecil berisi air kembang, dan menyalakan dupa. Asap dupa segera memenuhi ruangan kecil itu.
“Siapa namamu, nduk?”tanyaku tanpa memandangnya, tetap sibuk melakukan persiapan.
“Suminem, mbah” katanya. Wah, nama lokal betul.
Aku berdeham: “berapa umurmu? ”
Si cantik itu menjawab pelan, tetap menunduk: “empat belas tahun, mbah”. Wah, aku hampir terlonjak kaget. Empat belas tahun? masih kecil banget, tetapi bagaimana kok tubuhnya sudah demikian bongsor, dadanya sudah demikian besar..
Aku menelan ludah: “bocah cilik begini kok beraninya malam-malam datang ke sini. Ada masalah apa nduk?” aku sekarang duduk di kursi di depannya, dibatasi meja yang penuh segala pernik perdukunan. Si Suminem sekarang mengangkat kepalanya, raut wajahnya tampak sangat gelisah. Matanya jelalatan ke kiri kanan. Suaranya yang kecil bergetar: “nyuwun sewu mbah, sebetulnya saya sangat gelisah dan takut. Nyuwun tulung mbah..” suaranya semakin rendah dan bergetar, seperti sedu sedan.
Kemudian dengan cepat dan dengan suara tetap bergetar, dia bercerita bahwa ada seorang laki-laki, bernama Kasno, yang sangat ditakutinya. Kasno adalah tetangganya yang sudah punya istri dua dan anak segerendeng, tetapi masih hijau matanya kalau melihat cewek cantik. Karena rumahnya sederetan dengan rumah Suminem, tiap hari dia bisa melihat Pak Kasno memandangnya seperti tidak berkedip. Lebih celaka lagi, karena kamar mandi rumahnya menjadi satu dengan kamar mandi rumah Pak kasno, maka semakin besar kesempatan lelaki hidung belang itu mencuri pandang pada tubuhnya yang bahenol itu. Bahkan pernah suatu hari Suminem berteriak teriak dan lari keluar dari kamar mandi, karena ketika ia sedang mandi melihat kepala Pak kasno mengintip dari bagian atas kamar mandi yang memang tidak tertutup. Itu saja belum cukup. Hingga suatu hari.
“Pak Kasno tiba-tiba mendatangi saya, mbah” katanya. Si hidung belang itu katanya bicara baik-baik, bahkan sangat kebapakan. Tetapi yang membuat Suminem kaget, dia tiba-tiba mengeluarkan sebotol kecil air, entah apa itu. Dengan sangat cepat si hidung belang memercikkan air di botol itu ke wajah dan tubuh Suminem. Tentu saja si gadis kecil nan bahenol itu berteriak, tetapi Pak kasno cepat-cepat minta maaf dan dengan lembut memberi penjelasan: “Enggak apa-apa, Nem, itu tadi cuma air kembang kok. Bapak ini lagi belajar ilmu kebatinan, jadi bapak mengerti cara-cara untuk membahagiakan orang. Bener lho Nem, nanti setelah kena air tadi kamu akan merasa bahagiaa sekali”. katanya tersenyum.
Suminem tentu saja semakin kesal: “bahagia bagaimana to Pak?” tanyanya: “Wong sudah mbasahin baju nggak bilang-bilang, masih juga mbujuk-mbujuk segala.”pak Kasno katanya hanya tersenyum senyum saja dan menjawab: “wong bocah cilik, durung ngerti (belum mengerti) roso kepenake wong lanang (rasa enaknya laki-laki) Nduk, nduk, nanti saja kamu kan tahu” dan dengan bicara begitu si hidung belang ngeloyor pergi.
BACA JUGA : Kisah si dukun cabul bagian dua
BACA JUGA : Kisah si dukun cabul bagian dua
Setelah kejadian itu “Pikiran saya jadi bingung, mbah” cerita Suminem: “setiap malam saya menjadi terbayang wajahnya Pak Kasno, sepertinya dia itu mau menerkam saya saja” dia bergidik ngeri: “malah saya sampai mimpi..” Dia tidak melanjutkan. Aku pura-pura menghela napas penuh simpati. Sebenarnya, kalau saja yang bicara ini bukan gadis sebahenol Suminem pasti aku sudah menyuruhnya angkat kaki. Bosen. Tapi melihat anak secantik ini, waduh, kok tiba-tiba.. rasanya ada yang berteriak-teriak di balik celanaku..
Jangkrik tenan, pikirku. Rasanya aku mulai terangsang pada gadis ini.
“Teruskan Nduk” kataku penuh wibawa: “kamu mimpi apa?”
Suminem menggigil. Suaranya tersendat-sendat: “aduh mbah, nyuwun sewu, mbah, saya lingsem (malu) banget..” Wah, ini dia. Dengan gaya kebapakan (kok sama dengan ceritanya soal si hidung belang Kasno itu?), aku berdiri dan mendatangi dia, duduk di sebelahnya dan memeluk pundaknya. Lembut dan hangat. Nafsuku tambah naik: “wis, wis” kataku menenangkan: “ora susah bingung. Ceritakan saja. Si mbah ini siap mendengarkan kok”.
Akhirnya setelah mengatur napas, Suminem melanjutkan: “anu.., saya sering mimpi, lagi di anu sama Pak Kasno. Bolak balik mbah, bahkan hari-hari terakhir ini rasanya semakin sering”. Aku berusaha menahan tawa: “dianu kuwi opo karepe (apa maksudnya) to Nduk?” dia tampak semakin malu: “ya itu lho mbah..seperti katanya kalau suami istri lagi dolanan (bermain) di kamar itu lho.. katanya mbak-mbak saya seperti itu”. Waa..nafsuku semakin meningkat tajam. Tambah kugoda lagi (meskipun tetap dengan mimik muka serius, bahkan penuh belas kasihan): “coba to ceritakan yang jelas, seperti apa yang dilakukan si Kasno dalam mimpimu itu?”
Akhirnya si Suminem ini tampaknya berhasil menguatkan hatinya. Suaranya lebih mantap ketika menjelaskan: “pertamanya. Saya ngimpi Pak Kasno berdiri di depan saya, wuda blejet (telanjang bulat). Terus, saya tiba-tiba juga wuda blejet, terus.. Pak Kasno memeluk saya, menciumi saya, di bibir dan di badan juga..” dadanya naik turun, seakan sesak membayangkan impiannya yang luar biasa itu.
Aku semakin panas mendengar ceritanya itu: “apanya saja yang dia cium, Nduk?” tanyaku. Suminem tampak malu “di sini, Mbah” katanya sambil menunjuk buah dadanya: “di cium dan disedot kanan kiri, bolak balik. Terus ke bawah juga..” Ke bawah mana, tanyaku: “ke..ini Mbah, aduh, lingsem aku. Ke ini, tempat pipis saya. Di ciumi dan dijilati juga..” dia semakin menunduk malu. Suaranya terhenti. Nah, tiba-tiba ada pikiran licik di otakku. Segera aku bertindak.
“KASNO KEPARAT!” teriakku tiba-tiba. Aku meloncat berdiri, diikuti si Suminem yang juga terlonjak kaget mendengar bentakanku: “Mbah.. Mbah.. kenapa Mbah?” tanyanya bingung. Agen Domino99
Tidak ada komentar